Taruhan Hidup Nelayan Bagan Di Ambalat

“Saya tidak tahu ini masuk wilayah Malaysia. Kalau soal batas laut itu urusan negara Indonesia.” Sebuah pernyataan tegas meluncur dari mulut Bella, nelayan Desa Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, saat bertemu di bagan ikan milik Nasrun, rekan Bella di ambang batas laut (ambalat) Indonesia di laut Sulawesi.

Pernyataan itu merupakan jawaban Bella ketika beberapa bulan lalu, ia bertemu beberapa petugas Police Marine Malaysia yang datang ke bagan miliknya saat petugas Polisi Air atau TNI Angkatan Laut tidak sedang berpatroli di daerah tersebut. “Setelah saya jawab, para petugas Police Marine Malaysia itu pergi,” tuturnya.

Nasrun juga mengalami hal yang sama. Namun, petugas Police Marine Malaysia tidak berani naik karena melihat ada bendera merah putih berkibar di atas bagan. “Mereka hanya memotret-motret bagan saya sebentar,” katanya.

Didatangi, dipaksa tidak mencari ikan di ambalat oleh aparat Malaysia ternyata tidak satu kali dua kali. Peristiwa itu sudah berkali-kali terjadi sehingga menjadi rahasia umum di kalangan nelayan Sebatik. Pengalaman yang sama juga terungkap dari beberapa nelayan Tarakan dan Nunukan.

Bahkan, sebelum kapal perang Indonesia (KRI) mengusir aksi manuver kapal perang Malaysia beberapa waktu lalu, tiga kapal nelayan dari Tarakan dan Nunukan dicegat di perairan ambalat, tanggal 27 Mei lalu. “Kami dipaksa tanda tangan dan cap jempol pada sebuah surat pernyataan. Setelah itu disuruh kembali ke Tarakan,” kata Irham, salah satu juragan kapal tersebut.

Akibat kondisi itulah sebagian nelayan di utara Kaltim sempat tidak berani mencari ikan di perairan ambalat. Seakan-akan nelayan setempat sudah tak berhak berada di sana. Untuk memastikan masih berada di perairan Indonesia itulah sekitar 200 bagan yang berada antara perairan Sungai Tawain, Sebatik, dan perairan ambalat pun dipasangi bendera merah putih.

Setelah enam kapal KRI terus berpatroli secara bergantian, dalam sepekan terakhir, perairan ambalat mulai aman untuk pelayaran. Kondisi itu terasa ketika satu malam berada di bagan ikan milik Nasrun, hari Minggu (7/6) malam.

Bagan Nasrun berada hanya beberapa mil dari rambu suar Karang Unarang di perairan ambalat. Dari bagan berukuran 9,5 x 9,5 meter tersebut, cuma butuh waktu sekitar 30 menit berlayar untuk mencapai rambu suar Karang Unarang.

Sekadar mengingatkan, rambu suar ini yang dibangun tahun 2005, saat pengerjaannya sempat terganggu karena diduga tentara Malaysia saat itu menangkap dan menganiaya beberapa pekerja yang sedang membangunnya.

Berpatokan rambu suar itulah beberapa tahun terakhir para nelayan Sebatik berani membuat bagan, apalagi di rambu suar itu juga dipasangi bendera Merah Putih. Bendera itu tiga bulan sekali diganti karena robek-robek akibat terkena terpaan angin laut.

Bagi kebanyakan orang, malam adalah waktu istirahat di rumah. Namun, buat Nasrun, inilah waktu yang tepat untuk memulai usahanya di tengah laut. Tidak ada rasa takut atau khawatir bagannya yang ditopang 56 batang pohon nibung kembali diganggu kapal tentara Malaysia sebab kapal KRI terus berpatroli di perairan tersebut.

Sekarang, kata Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sebatik, Masjidil, yang mengkhawatirkan nelayan tradisional dan bagan adalah beroperasinya trawl-trawl Malaysia. “Saat kapal Police Marine atau tentara Malaysia berani bermanuver di perairan Indonesia, kapal-kapal trawl itu juga ikut-ikutan mencuri ikan. Mereka seperti dilindungi,” katanya.

Beruntung, ungkapnya, polisi kemudian menangkapnya. Selama lima bulan terakhir, ada 48 kapal trawl Malaysia yang melakukan penangkapan di perairan utara Kaltim. Aksi-aksi pencurian ikan oleh kapal-kapal trawl Malaysia tersebut kini mereda.

“Yang membuat kita prihatin, ternyata kapal-kapal itu berani masuk perairan Indonesia itu hampir semuanya juga diawaki orang Indonesia, termasuk juga yang menyalahgunakan surat izin berlayar yang diberikan oknum petugas syahbandar Sungai Nyamuk, Sebatik,” katanya.

Perairan ambalat Indonesia, Masjidil menjelaskan, memang menjadi incaran kapal-kapal ikan Malaysia. Hal itu terjadi karena perairan Malaysia yang berada di Tawau dan sekitar sudah rusak akibat trawl-trawl mereka bebas beroperasi.  

Sebaliknya, di Sebatik, sampai saat ini tidak satu pun nelayan memakai trawl. “Itulah sebabnya, nelayan bisa mempertahankan usahanya di ambalat dengan baik,” ucapnya.

Nasrun mengakui, usaha bagan di ambalat saat ini menguntung. Sebelumnya, ia juga melakukan usaha yang sama di perairan Tanjung Batu, Kabupaten Berau, Kaltim, namun bangkrut karena harga jual yang rendah dan sulitnya memasarkan hasil tangkapannya.

Di Sebatik, Nasrun bermodalkan sekitar Rp 30 juta saat membangun bagan setahun lalu. “Sekarang, modal saya itu sudah kembali,” katanya.

Menurut Nasrun, dia juga tidak terlilit utang karena hasil tangkapan 50-100 kilogram setiap malamnya. Bahkan, kalau lagi musim ikan, hasilnya bisa lebih dari 100 kilogram. “Saya bisa bertahan di bagan tiga hingga empat hari,” katanya.

Untuk menjaring ikan yang banyak, Nasrun membutuhkan empat liter bensin setiap malamnya. Bensin itu untuk mesin genset guna menyalakan lampu-lampu neon berkekuatan 1.000 watt. Lampu-lampu itu dipasangkan pada sebidang papan lalu diturunkan dengan tali dekat air agar ikan-ikan berkumpul. Setiap malam, tiga kali jaringnya diangkat untuk mengambil ikan yang berhasil terjaring.

Ikan bilis menjadi hasil tangkapan utama para nelayan di daerah ini. Setelah dimasukkan ke kotak kayu dan dipilih-pilih, ikan-ikan itu dimuat ke keranjang plastik.

Untuk pengasinan, Nasrun kemudian merebusnya di kuali besar dengan air asin dan garam. Pagi harinya, ikan-ikan yang telah direbus itu, setiba di Tanjung Aru, dijemur dengan terlebih dahulu perut dan kepala ikan dibersihkan.

Begitu kering, ikan-ikan tersebut dijual ke Tawau melalui pedagang pengumpul seharga 6,5 ringgit atau Rp 18.200 per kilogram. Jika semalam menghasilkan 50 kilogram saja, Nasrun meraih pendapatan kotor sekitar Rp 900.000. Setelah dikurangi biaya operasional Rp 400.000, Nasrun punya keuntungan bersih Rp 500.000.

Ikan bilis yang dikeringkan dengan baik dan bersih inilah yang paling dicari di Tawau. Nelayan Sebatik tidak menjual ke Tarakan atau Nunukan karena, kata Nasrun, sudah bisa dipenuhi nelayan setempat.

Para nelayan bagan, ungkap Masjidil, bisa bertahan di perairan ambalat karena ikannya banyak. Kelompok nelayan Tancap dari Desa Tanjung Aru misalnya, yang semula memiliki 20 bagan setahun terakhir, kini sudah bertambah enam bagan.

Jika di atas laut, kapal-kapal perang Indonesia terus berpatroli menjaga kedaulatan negara di utara Kaltim, di bawah permukaan air, para nelayan Sebatiklah yang berkepentingan untuk benar-benar menjaga daerah itu dari berbagai kegiatan yang merusak ekosistem laut. Sebab, ambalat benar-benar menjadi taruhan hidup mereka.(sumber:kompas)

Tinggalkan komentar